Sejarah Hari Pahlawan untuk mengenang peristiwa sejarah pertempuran 10 November 1945 Surabaya. Sejarah Hari Pahlawan dimulai ketika tentara Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) mendarat di Jakarta pada tanggal 15 September 1945 dan mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945 dengan membawa misi untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan tawanan perang yang ditahan Jepang, dan memulangkan tentara Jepang. Disamping misi tersebut, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan. Pendaratan Inggris tersebut di boncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Tentara Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada tanggal 18 September 1945, pukul 21.00 WIB, mengibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato atau Yamato Hoteru (Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Para pemuda menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia karena berdasarkan maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 ditetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia.
Keesokan harinya massa berkumpul di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono untuk berunding dengan Mr. Ploegman agar bendera Belanda segera diturunkan. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan tidak mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, Sidik juga gugur ditempak Tentara Belanda yang sedang berjaga, sedangkan Soedirman dan Hariyono berhasil meloloskan diri. Beberapa pemuda naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan ikut naik ke atas hotel bersama Koesno Wibowo untuk menurunkan bendera Belanda, merobek bagian biru, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah peristiwa di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 terjadilah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris. Serangan tersebut memakan korban jiwa di kedua belah pihak, sehingga Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan kepada Presiden Sukarno agar meredakan situasi.
Setelah penandatanganan gencatan senjata antara pihak Indonesia dan Inggris dilakukan tanggal 29 Oktober 1945, keadaan mereda, Tetapi masih terjadi insiden antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Insiden tersebut memuncak ketika terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30 WIB. Brigadir Jenderal Mallaby tewas oleh tembakan pistol seorang pemuda dan mobil yang ditumpangi terkena ledakan granat sehingga jenazah Mallaby sulit dikenali.
Peristiwa terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby membuat Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum agar semua orang Indonesia yang bersenjata harus meletakkan senjatanya di tempat yang telah ditentukan dan menyerahkan diri dengan cara mengangkat tangan ke atas. Batas ultimatum tersebut adalah tanggal 10 November 1945 pukul 6.00 WIB tetapi ultimatum tersebut dianggap sebagai penghinaan sehingga pihak Indonesia menolak ultimatum.
Pada 10 November 1945 pagi, tentara Inggris melancarkan serangan besar dan membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut, darat dan udara. Pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk menjadi korban.
Para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo terus mengobarkan semangat perlawanan pemuda Surabaya. Pemuka agama seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah dan Kyai dari berbagai pondok pesantren juga turut serta dengan mengerahkan para santrinya. Pertempuran ini mencapai waktu tiga minggu, sebelum akhirnya Surabaya jatuh di tangan pihak Inggris.
Sekitar 6,000 - 16,000 pejuang Indonesia gugur dan 200,000 rakyat sipil mengungsi. Sedangkan korban dari pasukan Inggris sekitar 600 - 2000 tentara.
Tentara Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada tanggal 18 September 1945, pukul 21.00 WIB, mengibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato atau Yamato Hoteru (Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Para pemuda menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia karena berdasarkan maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 ditetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia.
Keesokan harinya massa berkumpul di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono untuk berunding dengan Mr. Ploegman agar bendera Belanda segera diturunkan. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan tidak mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, Sidik juga gugur ditempak Tentara Belanda yang sedang berjaga, sedangkan Soedirman dan Hariyono berhasil meloloskan diri. Beberapa pemuda naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan ikut naik ke atas hotel bersama Koesno Wibowo untuk menurunkan bendera Belanda, merobek bagian biru, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah peristiwa di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 terjadilah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris. Serangan tersebut memakan korban jiwa di kedua belah pihak, sehingga Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan kepada Presiden Sukarno agar meredakan situasi.
Setelah penandatanganan gencatan senjata antara pihak Indonesia dan Inggris dilakukan tanggal 29 Oktober 1945, keadaan mereda, Tetapi masih terjadi insiden antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Insiden tersebut memuncak ketika terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30 WIB. Brigadir Jenderal Mallaby tewas oleh tembakan pistol seorang pemuda dan mobil yang ditumpangi terkena ledakan granat sehingga jenazah Mallaby sulit dikenali.
Peristiwa terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby membuat Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum agar semua orang Indonesia yang bersenjata harus meletakkan senjatanya di tempat yang telah ditentukan dan menyerahkan diri dengan cara mengangkat tangan ke atas. Batas ultimatum tersebut adalah tanggal 10 November 1945 pukul 6.00 WIB tetapi ultimatum tersebut dianggap sebagai penghinaan sehingga pihak Indonesia menolak ultimatum.
Pada 10 November 1945 pagi, tentara Inggris melancarkan serangan besar dan membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut, darat dan udara. Pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk menjadi korban.
Para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo terus mengobarkan semangat perlawanan pemuda Surabaya. Pemuka agama seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah dan Kyai dari berbagai pondok pesantren juga turut serta dengan mengerahkan para santrinya. Pertempuran ini mencapai waktu tiga minggu, sebelum akhirnya Surabaya jatuh di tangan pihak Inggris.
Sekitar 6,000 - 16,000 pejuang Indonesia gugur dan 200,000 rakyat sipil mengungsi. Sedangkan korban dari pasukan Inggris sekitar 600 - 2000 tentara.
No comments:
Post a Comment